BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Pengertiaan
Haid (menstruasi) merupakan peristiwa perdarahan secara
periodik dan siklik (bulanan) yang disertai pelepasan selaput lendir (endometrium)
rahim. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang alami pada seorang wanita normal.
Dikatakan periodik karena datangnya haid pada seorang wanita mempunyai
periode–periode tertentu, dimana haid pertama kali (menarche) datang
pada usia sekitar 12 tahun yang bisa saja belum teratur, kemudian mulai teratur
saat usia reproduksi (20-35 tahun), mulai jarang saat mendekati menopause (klimakterik),
dan berhenti saat menopause (49-50 tahun).
Bagi seorang wanita datangnya masa haid merupakan saat
yang selalu dinantikan. Sebab apabila haid terlambat datang, maka akan timbul
kekhawatiran, jangan-jangan telah terjadi sesuatu pada tubuh wanita tersebut.
Haid merupakan ketetapan Allah SWT atas setiap wanita, sebagaimana hadits di
bawah ini:
“Kami keluar (dari Madinah), tidak ada yang kami tuju kecuali
untuk berhaji. Maka ketika kami berada di tempat yang bernama Sarif, aku haid.
Rasulullah SAW masuk menemuiku yang ketika itu sedang menangis. Maka beliau
bersabda : ‘Ada apa denganmu, apakah engkau ditimpa haid?’ Aku menjawab : ‘Ya.’
Beliau bersabda : ‘Sesungguhnya haid ini adalah perkara yang Allah tetapkan
atas anak-anak perempuan keturunan adam. Kerjakanlah sebagaimana layaknya orang
berhaji. Akan tetapi, janganlah engkau melakukan thawaf di Baitullah.’ (HR. Bukhari dari ‘Aisyah r.a.)
2.
Haid dan Hukum-Hukum Seputarnya
Menurut
bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah
syara’haid ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena
suatu sebab, dan pada waktu tertentu.[3] Jadi
haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran
atau kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai
kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada
setiap wanita.
Seperti yang kita ketahui, darah haid berasal dari
penebalan dinding rahim untuk mempersiapkan proses pembentukan janin yang
nantinya berfungsi sebagai sumber makanan bagi janin yang ada dalam kandungan
seorang ibu. Oleh karenanya, seorang wanita yang hamil, tidak akan mendapatkan
haid lagi, Begitu juga dengan wanita yang menyusui, biasanya tidak akan
mendapatkannya terutama diawal masa penyusuan.
Adapun hikmah yang bisa kita petik didalamnya adalah Maha
Mulia Allah, Dialah sebaik-baiknya pencipta, yang telah menciptakan gumpalan
darah di rahim seorang ibu sebagai sumber makanan instant bagi janin
didalamnya, yang tentu saja dia belum bisa mencerna makanan apalagi mendapatkan
makanan dari luar kandungan. Maha Bijaksana Allah Subhanahu wa ta’ala yang
telah mengeluarkan darah tersebut dari rahim seorang wanita yang tidak hamil
melalui siklus haid karena memang tidak membutuhkannya. Dengan begitu, kondisi
rahim seorang wanita akan selalu siap bila ada janin didalamnya.
Adapun hal-hal yang dilarang bagi wanita yang sedang haid
adalah sebagai berikut:
a)
Shalat
Wanita yang
sedang haid diharamkan mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat dan tidak
perlu meng-qadha-nya setelah suci. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
Dari ‘Aisyah
r.a. berkata, Nabi SAW bersabda: “apabila datang masa haid, maka tinggalkanlah
shalat”. (HR.
Muttafaq ‘Alaih)
Juga hadits
yang diriwayatkan dari Mu’adzah, dimana ia bercerita:
“Aku pernah
bertanya kepada ‘Aisyah, bagaimana hukum wanita yang mengqadha’
puasa dan tidak mengqadha’ shalat? ‘Aisyah bertanya: apakah engkau wanita
merdeka? Aku menjawab: tidak, akan tetapi aku hanya sekedar bertanya. Lalu
‘Aisyah berkata: kami pernah menjalani haid pada masa Rasulullah, maka kami
diperintahkan mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat (HR.
Muttafaq ‘Alaih)
b)
Puasa
Wanita yang sedang haid diharamkan berpuasa dan berhak
mengqadha’nya di hari lain jika yang ditinggalkannya merupakan puasa wajib.
Berdasarkan hadist dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha: “Ketika kami mengalami
haid, diperintahkan kepada kami mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan
meng-qadha’ shalat” (Muttafaqun ‘alaih).
Seorang wanita
yang mendapatkan haid ketika dia sedang berpuasa, maka wajib membatalkannya
walaupun hal itu terjadi sesaat menjelang maghrib. Juga jika pada saat
terbitnya fajar dia masih haid maka tidak sah berpuasa, sekalipun sesaat
setelah fajar dia sudah suci. Dan sebaliknya jika seorang wanita mendapati
dirinya suci sesaat sebelum fajar, maka dia wajib puasa (puasa wajib) walaupun
baru mandi suci setelah fajar.
c)
Membaca Al-Qur’an.
Walaupun tidak
ada dalil qath’i yang melarang wanita haid untuk membaca Al-qur’an, tetapi
banyak ulama yang mengharamkannya. Syaikh utsaimin mengomentari perbedaan
pendapat dikalangan ulama tentang hal ini dengan mengatakan bahwa lebih utama
bagi wanita haid tidak membaca Al-Qur’an secara lisan, kecuali jika diperlukan.
Misalnya seorang guru yang sedang mengajar murid-muridnya, atau siswa yang
sedang belajar dikelas. Adapun aktivitas dzikr yang lain diperbolehkan bahkan
dianjurkan.
Dari Ibnu
‘Umar, dari Rasulullah SAW bersabda: “wanita yang tengah haid dan juga dalam
keadaan junub tidak boleh sama sekali membaca al-Quran”. (HR. Turmudzi)
Membaca Al
Qur’an bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau dengan hati tanpa
diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya, misalnya mushaf atau
lembaran Al Qur’an diletakkan lalu matanya menatap ayat-ayat seraya hatinya
membaca. menurut An Nawawi dalam kitab Syarh Al Muhadzdzab Juz 2 hal : 362, hal
ini boleh tanpa ada perbedaan pendapat.
Adapun jika
wanita haid itu membaca Al Qur’an dengan lisan, maka banyak ulama mengharamkannya
dan tidak membolehkannya. Tetapi Al Bukhari, Ibnu Jarir At Thabari dan Ibnul
Mundzir membolehkannya. Juga boleh membaca ayat Al Qur’an bagi wanita haid
menurut Imam Malik dan Asy syafii dalam pendapatnya yang terdahulu, sebagaimana
disebutkan dalam kitab Fathul Bari, serta menurut Ibrahim An
Nakha’i sebagaimana diriwayatkan Al Bukhari.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa kumpulan Ibnu Qasim mengatakan : “Pada dasarnya
tidak ada hadits yang melarang wanita haid membaca Al Qur’an. Sedangkan pernyataan “
wanita yang sedang haid dan orang junub tidak boleh membaca Al Qur’an” adalah
hadits dhaif menurut kesepakatan para ahli hadits. Seandainya wanita yang
sedang haid dilarang membaca Al Qur’an, seperti halnya shalat, pada hal pada
zaman Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kaum wanitapun
mengalami haid, tentu hal ini termasuk yang dijelaskan Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam kepada umatnya, diketahui oleh istri beliau sebagai
ibu-ibu kaum mu’minin, serta disampaikan sahabat kepada orang lain. Namun, tidak
ada seorangpun yang menyampaikan bahwa ada larangan dari Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam dalam masalah ini. Karena itu, tidak boleh dihukumi
haram selama diketahui bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak
melarangnya, padahal banyak pula wanita haid pada zaman beliau, berarti hal ini
tidak haram hukumnya.
Setelah
mengetahui perbedaan pendapat diantara para ulama, seyogyanya, kita katakana,
lebih utama bagi wanita yang sedang haid tidak membaca Al Qur’an secara lisan,
kecuali jika diperlukan. Misalnya seorang guru wanita yang perlu mengajarkan
membaca Al Qur’an kepada siswi-siswinya, atau seorang siswi yang pada waktu
ujian perlu diuji dalam membaca Al Qur’an, dan lain sebagainya.
d) Thawaf
Diharamkan
bagi wanita yang sedang haid melakukan thawaf di Ka’bah, baik yang wajib maupun
sunnah, dan tidak sah thawafnya, berdasarkan sabda Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam kepada Aisyah :
“lakukanlah apa saja yang dilakukan jamaah haji, hanya
saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci”
Adapun kewajiban
lainnya seperti sa’i antara Shafa dan marwah, wukuf di Arafah, bermalam di
Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan haji dan umrah selain itu,
tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang wanita melakukan thawaf
dalam keadaan suci, kemudian keluar darah haid langsung setelah thawaf atau di
tengah-tengah melakukan sa’i, maka tidak apa-apa hukumnya.
Thawaf wada’
Jika seorang
wanita mengerjakan seluruh manasik haji dan umroh, lalu datang haid sebelum
keluar untuk kembali ke negerinya dan haid ini terus berlangsung sampai batas
waktu pulang, maka ia boleh berangkat tanpa thawaf wada’. Dasarnya hadits
Ibnu‘AbbasRadhiyallahu ‘anhuma :
“Diperintahkan
kepada jamaah haji saat saat terakhir bagi mereka berada di baitullah
(malakukan thawaf wada’), hanya saja hal ini tidak dibebankan kepada wanita
yang sedang haid” ( hadits muttafaq alaih).
Dan tidak
disunnatkan bagi wanita yang sedang haid ketika hendak bertolak, mendatangi
pintu Masjidil Haram dan berdo’a. karena hal ini tidak ada dasarnya dari Nabishollallohu
‘alaihi wa sallam, sedangkan seluruh ibadah harus berdasarkan pada ajaran (
sunnah ) nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, menurut ajaran
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah sebaliknya.
Sebagaimana disebutkan dalam kisah ShafiyahRadhiyallahi ‘anha ketika
dalam keadaan haid setelah thawaf ifadhah Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepadanya : “kalau demikian, hendaklah ia
berangkat” ( hadits muttafaq alaih ) . dalam hadits ini, Nabi tidak
menyuruhnya mendatangi pintu Masjidil Haram. Andaikata hal itu disyariatkan,
tentu nabi sudah menjelaskannya.
Adapun thawaf
untuk haji dan umrah tetap wajib bagi wanita yang sedang haid, dan dilakukan
setelah suci.
e)
Berdiam dalam masjid
Diharamkan
bagi wanita yang sedang haid berdiam dalam masjid, bahkan diharamkan pula
baginya berdiam dalam tempat shalat Ied. Berdasarkan hadits Ummu Athiyah Radhiyallahu
‘anha bahwa ia mendengar Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallambersabda
:
“Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid… tetapi wanita
yang sedang haid menjahui tempat shalat” ( muttafaq alaih )
f)
Jima’ (senggama)
Diharamkan
bagi seorang suami menggauli istrinya sampai benar-benar dia dalam keadaan
suci. Diharamkan pula bagi sang istri memberi kesempatan kepada suami untuk
melakukan hal tersebut. Dalilnya dapat kita lihat kembali dalam Q.S. Al-Baqarah
(2) ayat 222 dan juga sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan olehMuslim, “اصْÙ†َعُوا
ÙƒُÙ„َّ Ø´َÙŠْØ¡ٍ Ø¥ِÙ„َّا النِّÙƒَاØَ(Lakukan apa saja, kecuali nikah)”,
nikah yang dimaksud disini adalah jima’. Adapun bercumbu diperbolehkan asal
tidak sampai jima’.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Menunda
Haid
Haid yang secara alamiah datang secara periodik dan
siklik, namun dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (IPTEK) haid
dapat ditunda maupun dimajukan kedatangannya. Penundaan ini bisa dilakukan
dengan menggunakan obat-obatan maupun lainnya. Praktek semacam ini sebenarnya
sudah berjalan cukup lama dikalangan masyarakat. Bagi seorang wanita
penundaan haid dilakukan karena ada tujuan-tujuan tertentu. Misalnya,
karenaingin melaksanakan ibadah secara sempurna, baik ibadah haji, puasa,
maupun shalat-shalat tertentu, karena akan melangsungkan pernikahan, menghadapi
ujian sekolah maupun lainnya.
Pada masa awal Islam belum ada obat penunda haid agar
dapat melaksanakan semua amalan-amalan ibadah maupun lainnya. Sehingga menurut
hukum Islam tidak ada nash yang jelas (sharih) yang menunjukkan boleh
atau tidaknya menunda kedatangan haid. Karena itu penundaan haid menurut hukum
Islam merupakan masalah kontemporer yang membutuhkan kajian yang mendalam dan
komprehensif. Karena ini merupakan persoalan hukum yang tidak ada dalam kedua
sumber hukum Islam, maka solusi pemecahan hukumnya dilakukan dengan cara ijtihad.[1] Menurut al-Amidi dalam kitabnya ”al-Ihkam fi
Usul al-Ahkam” memaknai Ijtihad adalah mencurahkan segenap
kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat dzanni, dalam batas
sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya itu.[2]
Untuk melaksanakan ijtihad maka harus ditinjau dari
beberapa sudut pandang agar menghasilkan produk hukum yang dapat diterima oleh
semua pihak. Tentunya produk pemikiran hukum itu harus berlandaskan kepada dua
sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Dengan lain perkataan, segala
persoalan hukum harus dikembalikan kepada keduanya (ar-ruju’ ila al-Quran wa
as-sunah). Sebab tanpa kedua sumber itu maka produk pemikiran hukum apapun
tidak dapat diterima dan bahkan akan menyesatkan umat, khususnya umat Islam.
Persoalan ini menarik untuk dikaji dan dicari solusinya
karena masih banyak masyarakat yang menanyakannya. Terlebih lagi dikalangan
Muhammadiyah persoalan ini secara resmi (Munas Tarjih, misalnya) belum
dibicarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Karena
itu Majelis Tarjih dan Tajid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Yogyakarta
mengangkat persoalan tersebut untuk dikaji dalam Musyawarah Wilayah (Musywil)
Tarjih. Dalam makalah ini akan dibicarakan dua hal, yaitu (1) Haid dan
Hukum-Hukum Seputarnya, Penundaan Haid Dalam Tinjauan Medis (Kedokteran), dan
Penundaan Haid Dalam Tinjauan Hukum Islam.
B.
Tinjauan Medis Penggunaan Pil Haid
Menurut Prof.dr.Ali Baziad, SpOG (K),
pengaturan siklus haid bisa dilakukan dengan menggunakan pil hormon. Saat ini
ada tiga jenis hormon yang bisa dipilih, yakni progestin (progesteron saja),
kombinasi estrogen dan progesterone (pil KB), serta GnRH agonis yang berbentuk
suntik.
“Pil progesteron tersebut dikonsumsi
satu bulan sebelum ibadah haji atau 14 hari sebelum haid,” kata Ali dalam acara
seminar bertema Pengaturan Haid untuk Ibadah Haji yang diselenggarakan oleh
Bayer Schering Pharma di Jakarta (20/11). Lebih lanjut Ali menjelaskan cara
kerja pil hormon. “Haid berhenti karena tubuh memperoleh hormon dari luar,
akibatnya kerja hormon di otak terhambat dan sel telur tidak bisa matang,”
jelasnya.
Riset yang dilakukan Prof.Dr.Biran
Affandi, SpOG (K) selama 10 tahun terhadap 45 perempuan berusia 25-42 tahun,
yang menginginkan penundaan haid untuk ibadah haji menunjukkan bahwa pil hormon
progesterone Norethisterone efektif menunda haid hingga 100 persen.
Meski penggunaan pil hormon tergolong
aman namun orang yang ingin mengonsumsinya sebaiknya dikonsultasikan dengan
dokter. “Dosis untuk tiap perempuan berbeda-beda, antara orang yang gemuk dan
yang kurus jelas lain,” kata Ali. Selain berat badan, faktor lainnya adalah
usia. Menurut Ali calon jamaah haji yang berusia di atas 40 tahun tidak
dianjurkan mengonsumsi pil hormon sintetik. “Di usia tersebut sudah banyak
gangguan kesehatan, jadi sebaiknya memakai pil hormon yang alami, seperti pil
KB,” paparnya.
Demikian pula untuk pasien pengidap
kanker payudara atau kanker leher rahim. Mereka tidak diijinkan mengonsumsi pil
hormon berbentuk tablet. “Pemberian pil hormon justru memacu kanker, karenanya
disarankan untuk memilih hormon injeksi,” jelas dokter yang menjadi Kepala
Divisi Imunoendokrinologi Departemen Obgin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia ini.
Kendati penelitian telah menunjukkan
keberhasilan pil hormon dalam menunda haid, namun tetap ada efek samping yang
perlu diketahui. “Pada beberapa orang bisa muncul vlek atau spotting noda
darah. Namun hal itu normal dan bukan darah haid sehingga ibadah tetap bisa
dilanjutkan,” ujar Ali menegaskan.
Selain untuk pengaturan haid, pil
progesteron seperti Norethisterone menurut Ali banyak digunakan sebagai terapi
untuk mengatasi masalah haid, seperti nyeri perut saat haid yang merupakan
gejala endometriosis, perdarahan uterus disfungsional, atau haid yang tidak
teratur.
C.
Tinjauan Hukum IslamTentang Penundaan Haid
Menstruasi atau haid terjadi secara
periodik pada semua perempuan sehat yang memiliki organ reproduksi sehat juga.
Haid bahkan bisa menjadi indikator kesuburan. Namun siklus bulanan tersebut
kerap menjadi masalah bagi wanita (misalanya ibadah haji) karena hukum Islam
melarang wanita yang sedang haid melakukan ibadah.
Teknologi terkini di bidang terapi
hormonal telah memungkinkan pengaturan waktu terjadinya haid secara tetap
sesuai keinginan, bisa dimajukan atau dimundurkan. Selain berkaitan dengan
ibadah, keinginan mendapatkan “hari bebas haid” juga bisa berhubungan dengan
karir atau acara khusus tertentu, seperti bulan madu.
Dalam menghadapi persoalan ini ternyata para ulama
berbeda pendapat tentang hukum kebolehan mengguanakan obat penunda atau
pencegah haid. Sebagian besar ulama membolehkan namun sebagian lainnya tidak
membolehkan.
1.
Kalangan yang Membolehkan
Diantara ulama
yang berpendapat boleh adalah sebagai berikut:
a.
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah
Di kalangan
shahabat Nabi SAW ada Ibnu Umar r.a. yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur
bahwa beliau telah ditanya orang tentang hukum seorang wanita haid yang meminum
obat agar tidak mendapat haid, lantaran agar dapat mengerjakan tawaf. Maka
beliau membolehkan hal tersebut. Muhibbuddin Thabari berkata, “jika terhentinya
haid dalam keadaan seperti ini dapat diakui, maka hendaklah diakui pula
terhentinya itu dalam menghitung berakhirnya massa iddah dan bentuk-bentuk
kasus lainya. Demikian pula jika meminum obat yang merangsang munculnya haid,
berdasarkan persamaan diantara keduanya.[4]
b.
Abdullah Abdul ‘Aziz bin Baz dalam kitab Fatawa
Tata’allaq bi Ahkam al-Hajji wa al-‘Umrah wa al-Ziyarah
Seorang wanita
boleh menggunakan obat pencegah haid pada waktu haji karena khawatir akan
kebiasaannya (haid) akan tetapi harus berkonsultasi kepada dokter khusus karena
untuk menjaga keselamatan wanita. Demikian juga pada bulan Ramadlan apabila
berkeinginan untuk berpuasa bersama-sama dengan masyarakat umum (orang banyak).
c.
Ahmad bin Abdul Rozaq ad-Duwaisy dalam kitab Fatawa
al-Lajnah ad-Daimah Lil-Buhuts al-‘Ilmiyah Wa al-Ifta
Boleh bagi
seorang wanita untuk mengkonsumsi pil penunda haid agar dapat melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Anda
tidak diharuskan untuk mengqadha hari-hari puasa yang telah Anda lakukan
bersama-sama yang lainnya dengan mengkonsumsi pil pencegah haidh. [Majalah
Al-Buhuts Al-Islmiyah, 22/62]
d.
Menurut Yusuf al-Qardawi, tokoh fikih kontemporer, bahwa
wanita dapat saja menggunakan obat penunda haid dengan syarat:
1) Kekhawatiran
haji dan puasanya tidak sempurna jika ia tidak menggunakannya.
2) Kekhawatiran
akan mengalami kesulitan dalam mengkada puasanya kelak, dan
3) Obat penunda
haid tersebut tidak membawa efek mudarat baginya.
Alasan itu didasarkan kepada tidak adanya nas yang sarih
melarang penundaan haid.
e.
Keputusan komisi fatwa MUI tahun 1984 tentang
kebolehan penggunaan obat penunda haid untuk kepentingan ibadah haji dan
puasa.
2.
Pendapat yang Mengharamkan
Salah satu ulama yang melarang penggunaan pil penunda haid
adalah Syeikh
Al-’Utsaimindalam “Majmu’ Fatawa al-‘Utsaimin” sebagai berikut:
Syaikh Ibnu
Utsaimin ditanya : Saya seorang wanita yang mendapatkan haid di bulan yang
mulia ini, tepatnya sejak tanggal dua lima Ramadhan hingga akhir bulan
Ramadhan, jika saya mendapatkan haid maka saya akan kehilangan pahala yang amat
besar, apakah saya harus menelan pil pencegah haid karena saya telah bertanya
kepada dokter lalu ia menyatakan bahwa pil pencegah haid itu tidak membahayakan
diri saya?
Beliau menjawab: “Saya katakan kepada wanita-wanita ini dan
wanita-wanita lainnya yang mendapatkan haid di bulan Ramadhan, bahwa haid yang
mereka alami itu, walaupun pengaruh dari haid itu mengharuskannya meninggalkan
shalat, membaca Al-Qur’an dan ibadah-ibadah lainnya, adalah merupakan ketetapan
Allah, maka hendaknya kaum wanita bersabar dalam menerima hal itu semua, maka
dari itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang kala
itu sedang haid : “Artinya : Sesungguhnya haid itu adalah sesuatu yang telah
Allah tetapkan kepada kaum wanita”. Maka kepada wanita ini kami katakan, bahwa
haid yang dialami oleh dirinya adalah suatu yang telah Allah tetapkan bagi kaum
wanita, maka hendaklah wanita itu bersabar dan janganlah menjerumuskan dirinya
ke dalan bahaya, sebab kami telah mendapat keterangan dari beberapa orang
dokter yang menyatakan bahwa pil-pil pencegah kehamilan berpengaruh buruk pada
kesehatan dan rahim penggunanya, bahkan kemungkinan pil-pil tersebut akan
memperburuk kondisi janin wanita hamil.”
Syekh al-‘Utsaimin ditanya oleh seseorang:
“Apakah boleh seorang wanita menggunakan pil penunda haid pada bulan Ramadlan
dan lainnya?
Beliau menjawab: “Menurut hemat saya dalam masalah ini agar para wanita
tidak menggunakannya baik dibulan Ramadlan maupun
lainnya, karena menurut para dokter hal itu menimbulkan bahaya yang sangat besar
bagi rahim, urat syaraf dan darah. Dan segala sesuatu yang menimbulkan bahaya
adalah dilarang. Padahal nabi
SAW telah bersabda, “Janganlah kamu melakukan tindakan yang membahayakan
dirimu dan orang lain.” Dan kami telah mengetahui dari mayoritas wanita yang menggunakannya
bahwa kebiasaan haid mereka berubah, dan menyibukkan para ulama membicarakan
masalah tersebut. Maka yang paling benar adalah tidak menggunakan obat tersebut
selamanya baik di bulan Ramadlan maupun lainnya.”
[3]Kata Abu Muhammad bin Hazm
rahimahullah dalam Al Muhalla (2/162) : “Haid adalah darah hitam yang kental
beraroma tidak sedap. Kapan saja tampak darah ini dari kemaluan wanita, maka
tidak halal baginya untuk shalat, puasa, dan thawaf di Baitullah serta tidak
boleh bagi suaminya atau tuannya (bila wanita tersebut berstatus budak, pent.)
untuk menyetubuhinya kecuali bila wanita itu melihat ia telah suci.” Al Imam Al
Qurthubi rahimahullah : “Darah haid adalah darah hitam yang kental,
mendominasinya warna merah.” (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ halaman 129), Selain
wanita, di antara jenis hewan ada juga yang mengalami haid seperti yang
dikatakan oleh Al Jahidh dalam Kitab Al Hayawan : “Yang mengalami haid dari
kalangan makhluk hidup ada empat yaitu wanita, kelinci, dlaba’ (sejenis anjing
hutan), dan kelelawar. Dan haidnya kelinci ini masyhur dalam syair-syair Arab.”
(Jami’ Ahkamin Nisa’ halaman 128)
BAB III
KESIMPULAN
Sungguh sangat membahagiakan bagi semua umat Islam ketika
kesempatan untuk berhaji datang. sebuat peristiwa yang sangat ditunggu-tunggu.
bayangkan, untuk dapat menunaikan ibadah haji saat ini calon jamaah harus antri
masuk daftar tunggu yang konon sekarang sdah mencapai 6 tahun kedepan.
kita smua tahu bahwa ibadah haji punya karakteristik berbeda dengan
ibadah lainnya. dalam ibadah haji tidak hanya menuntut kita mengucapkan doa doa
namun ibadah yang satu ini juga menuntut kesiapan fisik yang prima. dan tak
jarang kurangnya persiapan fisik ini menyebabkan terganggunya kelancaran dalam
penunaian prosesi ibadah haji tersebut. untuk itu perlu dilakukan persiapan
jauh-jauh hari sebelum keberangkatan.
Satu hal yang sangat menjadi perhatian para calon jamaah haji
khususnya jamaah perempuan adalah masalah Haid atau menstruasi. Masalah haid
ini sering kali membuat cemas para calon jamaah haji wanita dikarenakan adanya
rukun haji yaitu Thowaf ifadhoh yang mengharuskan jamaah dalam kondisi suci
dari hadats maupun najis. Thowaf ifadhoh yang pelaksanaannya dilakukan setelah
prosesi Armuna (Arafah-Muzdalifah – Mina) ini biasanya menjadi masalah terutama
untuk jamaah yang dijadwalkan pulang awal (kloter-kloter awal) karena waktu
pelaksanaannya cuma bisa dilakukan beberapa hari sebelum pulang ke tanah air.
Akibatnya banyak calon jamaah yang ketakutan dan akhirnya mengkonsumsi obat
secara membabi buta mulai sejak di tanah air. Pemakaian obat penunda haid yang
kurang tepat inilah yang pada akhirnya malah menjadi bumerang, alih-alih
mendapat manfaat dari penundaan menstruasi tapi malah siklus menstruasinya
kacau dan sulit untuk ditanggulangi.
Nah.. berikut in sedikit tips
Pertama, sebelum berkonsultasi dengan dokter kenali siklus
menstruasi anda. Berapa hari siklus haid anda, berapa lama menstruasi anda,
bagaimanakah keteraturan menstruasi anda, Kontrasepsi apa yang sekarang sedang
anda gunakan.
Kedua, setelah memahami siklus menstuasi anda. usahakan anda
melakukan konsultasi minimal 3 bulan sebelum keberangkatan ke tanah suci
sehingga upaya penundaan ini bisa lebih efektif.
ketiga, hal yang penting untuk diingat adalah mengetahui kapan
proses ibadak puncak haji dan kapan keberangkatan kita. penundaan haid ini
sebenarnya sebagi upaya memperlancar ibadah haji. dalam hal ini adalah thawaf
ifadhoh yang wajib dilaksanakan dalam kondisi suci. Perlu difahami juga mana
yang merupakan rangkaian ibadah Sunnah dan mana ibadah yang merupakan Rukun dan
wajib. Jangan sampai gara-gara kita terlalu bernafsu mengejar yang sunnah malah
ibadah yang wajib jadi kacau. Selain thawaf, kegiatan lain dalam rangkaian
ibadah haji boleh dilaksanakan meskipun kita tidak dalam kondisi suci.
Keempat, perlu diketahui yang berkenaan dengan peggunaan
kontrasepsi
1. Oral Noethisteron 5 mg (Primolut): eektif dalam menunda haid
hanya selama 14 hari. jadi pagi anda jamaah yang mau menunaikan ibadah haji
hendaknya sebelum menggunakan kontrasepsi berkonsutasi dengan dokter yang
berpengalaman. jika anda mulai minum primolut saat sebelum berangkat sedangkan
rangkaian ibadah haji masih lama maka biasanya anda bisa mengalami spoting pada
minggu ke 2 setelah mulai mengkonsumsi Primolut
2. Kontrasepsi suntik 3 bulanan: Hanya efektif untuk yang sudah
mendapatkan suntikan sebanyak 5 kali (1 tahun 3 bulan dari pertama kali
suntik). karena efek Amenore (tidak menstruasi baru bisa didapat setelah 5 kali
injeksi. Jika anda termasuk pemakai kontrasepsi KB suntik 3 bulanan dan sudah
tidak menglami menstruasi maka anda tinggal meneruskannya. jangan lupa
meneruskan suntik KB 3 bulanan sebelum berangkat karena pengalaman penulis
pernah meresepkan tapi susah banget nyari di apotik-apotik di Tanah suci.
mungkin karena mereka nggak pernah Kb kali ya. hehe
3. Bagi pemakai kontrasepsi Spiral hendaknya dilepas dulu untuk
menbegah terjadinya spotting
4. Bisa digunakan kontrasepsi dengan pil KB (21 tablet) yaitu
mycrogynon ED 30, Diane, yasmin. caranya dengan mulai minum pil KB ini pada
hari ke 5 menstruasi terus menerus selama sebelum berangkat sampai pulang ke
tanah air. dengan cara ini jamaah tidak mengalami menstruasi.
PENUTUP
Namun demikian,
para ulama melihat hal ini menjadi rukhsah bagi para wanita pada saat
pelaksanaan ibadah haji. Penggunaan terapi hormonal diperbolehkan. Bahkan
Majelis Ulama Indonesia secara tegas telah mengeluarkan fatwa dengan tanggal 12
Januari 1979 yang menyebutkan, bahwa penggunaan obat anti haid untuk
kesempurnaan ibadah haji hukumnya adalah mubah.
Referensi:
1.
Qadhaya Fiqhiyah Mu’ashirah, jld 1. Lajnah
Asatidzah Fiqh Muqaran Univ. Al Azhar 2006.
2.
Al Mughni, Ibn Qudamah.
3.
al-Fataw as Syar’iyyah Fil Masailil ‘Ashriyyah
Min Fatawa Ulama Baladil Haram.
4.
Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir al Jazairi.
5.
Majalah As Sunnah Edisi 05 Tahun XIII
6.
sukakarya-online.com
dari cara-cara diatas mana yang sesuai hendaknya dikonsultasikan
dengan dokter. Beratnya stressor saat pelaksanaan ibadah haji sering kali
mempengaruhi fisik dan hormon jamaah, jadi jangan heran kadang meskipun sudah
dilakukan upaya penundaan haid masih saja haid datang.
semoga bermanfaat