MY BLOG

WELCOME TO AL KHUDORI POENYA

Rabu, 27 Juni 2012

Pil Penunda Haid


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Pengertiaan
Haid (menstruasi) merupakan peristiwa perdarahan secara periodik dan siklik (bulanan) yang disertai pelepasan selaput lendir (endometrium) rahim. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang alami pada seorang wanita normal. Dikatakan periodik karena datangnya haid pada seorang wanita mempunyai periode–periode tertentu, dimana haid pertama kali (menarche) datang pada usia sekitar 12 tahun yang bisa saja belum teratur, kemudian mulai teratur saat usia reproduksi (20-35 tahun), mulai jarang saat mendekati menopause (klimakterik), dan berhenti saat menopause (49-50 tahun).
Bagi seorang wanita datangnya masa haid merupakan saat yang selalu dinantikan. Sebab apabila haid terlambat datang, maka akan timbul kekhawatiran, jangan-jangan telah terjadi sesuatu pada tubuh wanita tersebut. Haid merupakan ketetapan Allah SWT atas setiap wanita, sebagaimana hadits di bawah ini:
“Kami keluar (dari Madinah), tidak ada yang kami tuju kecuali untuk berhaji. Maka ketika kami berada di tempat yang bernama Sarif, aku haid. Rasulullah SAW masuk menemuiku yang ketika itu sedang menangis. Maka beliau bersabda : ‘Ada apa denganmu, apakah engkau ditimpa haid?’ Aku menjawab : ‘Ya.’ Beliau bersabda : ‘Sesungguhnya haid ini adalah perkara yang Allah tetapkan atas anak-anak perempuan keturunan adam. Kerjakanlah sebagaimana layaknya orang berhaji. Akan tetapi, janganlah engkau melakukan thawaf di Baitullah.’ (HR. Bukhari dari ‘Aisyah r.a.)
2.      Haid dan Hukum-Hukum Seputarnya
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah syara’haid ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu.[3] Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.
Seperti yang kita ketahui, darah haid berasal dari penebalan dinding rahim untuk mempersiapkan proses pembentukan janin yang nantinya berfungsi sebagai sumber makanan bagi janin yang ada dalam kandungan seorang ibu. Oleh karenanya, seorang wanita yang hamil, tidak akan mendapatkan haid lagi, Begitu juga dengan wanita yang menyusui, biasanya tidak akan mendapatkannya terutama diawal masa penyusuan.
Adapun hikmah yang bisa kita petik didalamnya adalah Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baiknya pencipta, yang telah menciptakan gumpalan darah di rahim seorang ibu sebagai sumber makanan instant bagi janin didalamnya, yang tentu saja dia belum bisa mencerna makanan apalagi mendapatkan makanan dari luar kandungan. Maha Bijaksana Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah mengeluarkan darah tersebut dari rahim seorang wanita yang tidak hamil melalui siklus haid karena memang tidak membutuhkannya. Dengan begitu, kondisi rahim seorang wanita akan selalu siap bila ada janin didalamnya.
Adapun hal-hal yang dilarang bagi wanita yang sedang haid adalah sebagai berikut:
a)      Shalat
Wanita yang sedang haid diharamkan mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat dan tidak perlu meng-qadha-nya setelah suci. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
Dari ‘Aisyah r.a. berkata, Nabi SAW bersabda: “apabila datang masa haid, maka tinggalkanlah shalat”. (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Juga hadits yang diriwayatkan dari Mu’adzah, dimana ia bercerita:
“Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah, bagaimana hukum wanita yang mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat? ‘Aisyah bertanya: apakah engkau wanita merdeka? Aku menjawab: tidak, akan tetapi aku hanya sekedar bertanya. Lalu ‘Aisyah berkata: kami pernah menjalani haid pada masa Rasulullah, maka kami diperintahkan mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat (HR. Muttafaq ‘Alaih)
b)     Puasa
Wanita yang sedang haid diharamkan berpuasa dan berhak mengqadha’nya di hari lain jika yang ditinggalkannya merupakan puasa wajib. Berdasarkan hadist dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha: “Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha’ shalat” (Muttafaqun ‘alaih).
Seorang wanita yang mendapatkan haid ketika dia sedang berpuasa, maka wajib membatalkannya walaupun hal itu terjadi sesaat menjelang maghrib. Juga jika pada saat terbitnya fajar dia masih haid maka tidak sah berpuasa, sekalipun sesaat setelah fajar dia sudah suci. Dan sebaliknya jika seorang wanita mendapati dirinya suci sesaat sebelum fajar, maka dia wajib puasa (puasa wajib) walaupun baru mandi suci setelah fajar.
c)      Membaca Al-Qur’an.
Walaupun tidak ada dalil qath’i yang melarang wanita haid untuk membaca Al-qur’an, tetapi banyak ulama yang mengharamkannya. Syaikh utsaimin mengomentari perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang hal ini dengan mengatakan bahwa lebih utama bagi wanita haid tidak membaca Al-Qur’an secara lisan, kecuali jika diperlukan. Misalnya seorang guru yang sedang mengajar murid-muridnya, atau siswa yang sedang belajar dikelas. Adapun aktivitas dzikr yang lain diperbolehkan bahkan dianjurkan.
Dari Ibnu ‘Umar, dari Rasulullah SAW bersabda: “wanita yang tengah haid dan juga dalam keadaan junub tidak boleh sama sekali membaca al-Quran”. (HR. Turmudzi)
Membaca Al Qur’an bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau dengan hati tanpa diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya, misalnya mushaf atau lembaran Al Qur’an diletakkan lalu matanya menatap ayat-ayat seraya hatinya membaca. menurut An Nawawi dalam kitab Syarh Al Muhadzdzab Juz 2 hal : 362, hal ini boleh tanpa ada perbedaan pendapat.
Adapun jika wanita haid itu membaca Al Qur’an dengan lisan, maka banyak ulama mengharamkannya dan tidak membolehkannya. Tetapi Al Bukhari, Ibnu Jarir At Thabari dan Ibnul Mundzir membolehkannya. Juga boleh membaca ayat Al Qur’an bagi wanita haid menurut Imam Malik dan Asy syafii dalam pendapatnya yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Bari, serta menurut Ibrahim An Nakha’i sebagaimana diriwayatkan Al Bukhari.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa kumpulan Ibnu Qasim mengatakan : “Pada dasarnya tidak ada hadits yang melarang wanita haid membaca Al Qur’an. Sedangkan pernyataan “ wanita yang sedang haid dan orang junub tidak boleh membaca Al Qur’an” adalah hadits dhaif menurut kesepakatan para ahli hadits. Seandainya wanita yang sedang haid dilarang membaca Al Qur’an, seperti halnya shalat, pada hal pada zaman Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kaum wanitapun mengalami haid, tentu hal ini termasuk yang dijelaskan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya, diketahui oleh istri beliau sebagai ibu-ibu kaum mu’minin, serta disampaikan sahabat kepada orang lain. Namun, tidak ada seorangpun yang menyampaikan bahwa ada larangan dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini. Karena itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya, padahal banyak pula wanita haid pada zaman beliau, berarti hal ini tidak haram hukumnya.
Setelah mengetahui perbedaan pendapat diantara para ulama, seyogyanya, kita katakana, lebih utama bagi wanita yang sedang haid tidak membaca Al Qur’an secara lisan, kecuali jika diperlukan. Misalnya seorang guru wanita yang perlu mengajarkan membaca Al Qur’an kepada siswi-siswinya, atau seorang siswi yang pada waktu ujian perlu diuji dalam membaca Al Qur’an, dan lain sebagainya.
d)     Thawaf
Diharamkan bagi wanita yang sedang haid melakukan thawaf di Ka’bah, baik yang wajib maupun sunnah, dan tidak sah thawafnya, berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah :
“lakukanlah apa saja yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci”
Adapun kewajiban lainnya seperti sa’i antara Shafa dan marwah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan haji dan umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang wanita melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar darah haid langsung setelah thawaf atau di tengah-tengah melakukan sa’i, maka tidak apa-apa hukumnya.
Thawaf wada’
Jika seorang wanita mengerjakan seluruh manasik haji dan umroh, lalu datang haid sebelum keluar untuk kembali ke negerinya dan haid ini terus berlangsung sampai batas waktu pulang, maka ia boleh berangkat tanpa thawaf wada’. Dasarnya hadits Ibnu‘AbbasRadhiyallahu ‘anhuma :
“Diperintahkan kepada jamaah haji saat saat terakhir bagi mereka berada di baitullah (malakukan thawaf wada’), hanya saja hal ini tidak dibebankan kepada wanita yang sedang haid” ( hadits muttafaq alaih).
Dan tidak disunnatkan bagi wanita yang sedang haid ketika hendak bertolak, mendatangi pintu Masjidil Haram dan berdo’a. karena hal ini tidak ada dasarnya dari Nabishollallohu ‘alaihi wa sallam, sedangkan seluruh ibadah harus berdasarkan pada ajaran ( sunnah ) nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, menurut ajaran Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah ShafiyahRadhiyallahi ‘anha ketika dalam keadaan haid setelah thawaf ifadhah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “kalau demikian, hendaklah ia berangkat” ( hadits muttafaq alaih ) . dalam hadits ini, Nabi tidak menyuruhnya mendatangi pintu Masjidil Haram. Andaikata hal itu disyariatkan, tentu nabi sudah menjelaskannya.
Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap wajib bagi wanita yang sedang haid, dan dilakukan setelah suci.
e)      Berdiam dalam masjid
Diharamkan bagi wanita yang sedang haid berdiam dalam masjid, bahkan diharamkan pula baginya berdiam dalam tempat shalat Ied. Berdasarkan hadits Ummu Athiyah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia mendengar Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallambersabda :
“Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid… tetapi wanita yang sedang haid menjahui tempat shalat” ( muttafaq alaih )

f)       Jima’ (senggama)
Diharamkan bagi seorang suami menggauli istrinya sampai benar-benar dia dalam keadaan suci. Diharamkan pula bagi sang istri memberi kesempatan kepada suami untuk melakukan hal tersebut. Dalilnya dapat kita lihat kembali dalam Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 222 dan juga sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan olehMuslim, “اصْÙ†َعُوا ÙƒُÙ„َّ Ø´َÙŠْØ¡ٍ Ø¥ِÙ„َّا النِّÙƒَاحَ(Lakukan apa saja, kecuali nikah)”, nikah yang dimaksud disini adalah jima’. Adapun bercumbu diperbolehkan asal tidak sampai jima’.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Menunda Haid
Haid yang secara alamiah datang secara periodik dan siklik, namun dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (IPTEK) haid dapat ditunda maupun dimajukan kedatangannya. Penundaan ini bisa dilakukan dengan menggunakan obat-obatan maupun lainnya. Praktek semacam ini sebenarnya sudah berjalan cukup lama dikalangan masyarakat. Bagi seorang wanita penundaan haid dilakukan karena ada tujuan-tujuan tertentu. Misalnya, karenaingin melaksanakan ibadah secara sempurna, baik ibadah haji, puasa, maupun shalat-shalat tertentu, karena akan melangsungkan pernikahan, menghadapi ujian sekolah maupun lainnya.
Pada masa awal Islam belum ada obat penunda haid agar dapat melaksanakan semua amalan-amalan ibadah maupun lainnya. Sehingga menurut hukum Islam tidak ada nash yang jelas (sharih) yang menunjukkan boleh atau tidaknya menunda kedatangan haid. Karena itu penundaan haid menurut hukum Islam merupakan masalah kontemporer yang membutuhkan kajian yang mendalam dan komprehensif. Karena ini merupakan persoalan hukum yang tidak ada dalam kedua sumber hukum Islam, maka solusi pemecahan hukumnya dilakukan dengan cara ijtihad.[1] Menurut al-Amidi dalam kitabnya ”al-Ihkam fi Usul al-Ahkam” memaknai Ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat dzanni, dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya itu.[2]
Untuk melaksanakan ijtihad maka harus ditinjau dari beberapa sudut pandang agar menghasilkan produk hukum yang dapat diterima oleh semua pihak. Tentunya produk pemikiran hukum itu harus berlandaskan kepada dua sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Dengan lain perkataan, segala persoalan hukum harus dikembalikan kepada keduanya (ar-ruju’ ila al-Quran wa as-sunah). Sebab tanpa kedua sumber itu maka produk pemikiran hukum apapun tidak dapat diterima dan bahkan akan menyesatkan umat, khususnya umat Islam.
Persoalan ini menarik untuk dikaji dan dicari solusinya karena masih banyak masyarakat yang menanyakannya. Terlebih lagi dikalangan Muhammadiyah persoalan ini secara resmi (Munas Tarjih, misalnya) belum dibicarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Karena itu Majelis Tarjih dan Tajid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Yogyakarta mengangkat persoalan tersebut untuk dikaji dalam Musyawarah Wilayah (Musywil) Tarjih. Dalam makalah ini akan dibicarakan dua hal, yaitu (1) Haid dan Hukum-Hukum Seputarnya, Penundaan Haid Dalam Tinjauan Medis (Kedokteran), dan Penundaan Haid Dalam Tinjauan Hukum Islam.
B.     Tinjauan Medis Penggunaan Pil Haid
Menurut Prof.dr.Ali Baziad, SpOG (K), pengaturan siklus haid bisa dilakukan dengan menggunakan pil hormon. Saat ini ada tiga jenis hormon yang bisa dipilih, yakni progestin (progesteron saja), kombinasi estrogen dan progesterone (pil KB), serta GnRH agonis yang berbentuk suntik.
“Pil progesteron tersebut dikonsumsi satu bulan sebelum ibadah haji atau 14 hari sebelum haid,” kata Ali dalam acara seminar bertema Pengaturan Haid untuk Ibadah Haji yang diselenggarakan oleh Bayer Schering Pharma di Jakarta (20/11). Lebih lanjut Ali menjelaskan cara kerja pil hormon. “Haid berhenti karena tubuh memperoleh hormon dari luar, akibatnya kerja hormon di otak terhambat dan sel telur tidak bisa matang,” jelasnya.
Riset yang dilakukan Prof.Dr.Biran Affandi, SpOG (K) selama 10 tahun terhadap 45 perempuan berusia 25-42 tahun, yang menginginkan penundaan haid untuk ibadah haji menunjukkan bahwa pil hormon progesterone Norethisterone efektif menunda haid hingga 100 persen.
Meski penggunaan pil hormon tergolong aman namun orang yang ingin mengonsumsinya sebaiknya dikonsultasikan dengan dokter. “Dosis untuk tiap perempuan berbeda-beda, antara orang yang gemuk dan yang kurus jelas lain,” kata Ali. Selain berat badan, faktor lainnya adalah usia. Menurut Ali calon jamaah haji yang berusia di atas 40 tahun tidak dianjurkan mengonsumsi pil hormon sintetik. “Di usia tersebut sudah banyak gangguan kesehatan, jadi sebaiknya memakai pil hormon yang alami, seperti pil KB,” paparnya.
Demikian pula untuk pasien pengidap kanker payudara atau kanker leher rahim. Mereka tidak diijinkan mengonsumsi pil hormon berbentuk tablet. “Pemberian pil hormon justru memacu kanker, karenanya disarankan untuk memilih hormon injeksi,” jelas dokter yang menjadi Kepala Divisi Imunoendokrinologi Departemen Obgin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.
Kendati penelitian telah menunjukkan keberhasilan pil hormon dalam menunda haid, namun tetap ada efek samping yang perlu diketahui. “Pada beberapa orang bisa muncul vlek atau spotting noda darah. Namun hal itu normal dan bukan darah haid sehingga ibadah tetap bisa dilanjutkan,” ujar Ali menegaskan.
Selain untuk pengaturan haid, pil progesteron seperti Norethisterone menurut Ali banyak digunakan sebagai terapi untuk mengatasi masalah haid, seperti nyeri perut saat haid yang merupakan gejala endometriosis, perdarahan uterus disfungsional, atau haid yang tidak teratur.
C.    Tinjauan Hukum IslamTentang Penundaan Haid
Menstruasi atau haid terjadi secara periodik pada semua perempuan sehat yang memiliki organ reproduksi sehat juga. Haid bahkan bisa menjadi indikator kesuburan. Namun siklus bulanan tersebut kerap menjadi masalah bagi wanita (misalanya ibadah haji) karena hukum Islam melarang wanita yang sedang haid melakukan ibadah.
Teknologi terkini di bidang terapi hormonal telah memungkinkan pengaturan waktu terjadinya haid secara tetap sesuai keinginan, bisa dimajukan atau dimundurkan. Selain berkaitan dengan ibadah, keinginan mendapatkan “hari bebas haid” juga bisa berhubungan dengan karir atau acara khusus tertentu, seperti bulan madu.
Dalam menghadapi persoalan ini ternyata para ulama berbeda pendapat tentang hukum kebolehan mengguanakan obat penunda atau pencegah haid. Sebagian besar ulama membolehkan namun sebagian lainnya tidak membolehkan.
1.      Kalangan yang Membolehkan
Diantara ulama yang berpendapat boleh adalah sebagai berikut:
a.      Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah
Di kalangan shahabat Nabi SAW ada Ibnu Umar r.a. yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur bahwa beliau telah ditanya orang tentang hukum seorang wanita haid yang meminum obat agar tidak mendapat haid, lantaran agar dapat mengerjakan tawaf. Maka beliau membolehkan hal tersebut. Muhibbuddin Thabari berkata, “jika terhentinya haid dalam keadaan seperti ini dapat diakui, maka hendaklah diakui pula terhentinya itu dalam menghitung berakhirnya massa iddah dan bentuk-bentuk kasus lainya. Demikian pula jika meminum obat yang merangsang munculnya haid, berdasarkan persamaan diantara keduanya.[4]
b.      Abdullah Abdul ‘Aziz bin Baz dalam kitab Fatawa Tata’allaq bi Ahkam al-Hajji wa al-‘Umrah wa al-Ziyarah
Seorang wanita boleh menggunakan obat pencegah haid pada waktu haji karena khawatir akan kebiasaannya (haid) akan tetapi harus berkonsultasi kepada dokter khusus karena untuk menjaga keselamatan wanita. Demikian juga pada bulan Ramadlan apabila berkeinginan untuk berpuasa bersama-sama dengan masyarakat umum (orang banyak).

c.       Ahmad bin Abdul Rozaq ad-Duwaisy dalam kitab Fatawa al-Lajnah ad-Daimah Lil-Buhuts al-‘Ilmiyah Wa al-Ifta
Boleh bagi seorang wanita untuk mengkonsumsi pil penunda haid agar dapat melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Anda tidak diharuskan untuk mengqadha hari-hari puasa yang telah Anda lakukan bersama-sama yang lainnya dengan mengkonsumsi pil pencegah haidh. [Majalah Al-Buhuts Al-Islmiyah, 22/62]
d.      Menurut Yusuf al-Qardawi, tokoh fikih kontemporer, bahwa wanita dapat saja menggunakan obat penunda haid dengan syarat:
1)      Kekhawatiran haji dan puasanya tidak sempurna jika ia tidak  menggunakannya.
2)      Kekhawatiran akan mengalami kesulitan dalam mengkada puasanya kelak, dan
3)      Obat penunda haid tersebut tidak membawa efek mudarat baginya.
Alasan itu didasarkan kepada tidak adanya nas yang sarih melarang penundaan haid.
e.       Keputusan komisi fatwa MUI tahun 1984 tentang kebolehan penggunaan obat penunda haid untuk kepentingan ibadah haji dan puasa.

2.      Pendapat yang Mengharamkan
Salah satu ulama yang melarang penggunaan pil penunda haid adalah Syeikh Al-’Utsaimindalam “Majmu’ Fatawa al-‘Utsaimin” sebagai berikut:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Saya seorang wanita yang mendapatkan haid di bulan yang mulia ini, tepatnya sejak tanggal dua lima Ramadhan hingga akhir bulan Ramadhan, jika saya mendapatkan haid maka saya akan kehilangan pahala yang amat besar, apakah saya harus menelan pil pencegah haid karena saya telah bertanya kepada dokter lalu ia menyatakan bahwa pil pencegah haid itu tidak membahayakan diri saya?
Beliau menjawab: “Saya katakan kepada wanita-wanita ini dan wanita-wanita lainnya yang mendapatkan haid di bulan Ramadhan, bahwa haid yang mereka alami itu, walaupun pengaruh dari haid itu mengharuskannya meninggalkan shalat, membaca Al-Qur’an dan ibadah-ibadah lainnya, adalah merupakan ketetapan Allah, maka hendaknya kaum wanita bersabar dalam menerima hal itu semua, maka dari itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang kala itu sedang haid : “Artinya : Sesungguhnya haid itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan kepada kaum wanita”. Maka kepada wanita ini kami katakan, bahwa haid yang dialami oleh dirinya adalah suatu yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita, maka hendaklah wanita itu bersabar dan janganlah menjerumuskan dirinya ke dalan bahaya, sebab kami telah mendapat keterangan dari beberapa orang dokter yang menyatakan bahwa pil-pil pencegah kehamilan berpengaruh buruk pada kesehatan dan rahim penggunanya, bahkan kemungkinan pil-pil tersebut akan memperburuk kondisi janin wanita hamil.”
Syekh al-‘Utsaimin ditanya oleh seseorang: “Apakah boleh seorang wanita menggunakan pil penunda haid pada bulan Ramadlan dan lainnya?
Beliau menjawab: “Menurut hemat saya dalam masalah ini agar para wanita tidak menggunakannya baik dibulan Ramadlan maupun lainnya, karena menurut para dokter hal itu menimbulkan bahaya yang sangat besar bagi rahim, urat syaraf dan darah. Dan segala sesuatu yang menimbulkan bahaya adalah dilarang. Padahal nabi SAW telah bersabda, “Janganlah kamu melakukan tindakan yang membahayakan dirimu dan orang lain.” Dan kami telah mengetahui dari mayoritas wanita yang menggunakannya bahwa kebiasaan haid mereka berubah, dan menyibukkan para ulama membicarakan masalah tersebut. Maka yang paling benar adalah tidak menggunakan obat tersebut selamanya baik di bulan Ramadlan maupun lainnya.


[3]Kata Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla (2/162) : “Haid adalah darah hitam yang kental beraroma tidak sedap. Kapan saja tampak darah ini dari kemaluan wanita, maka tidak halal baginya untuk shalat, puasa, dan thawaf di Baitullah serta tidak boleh bagi suaminya atau tuannya (bila wanita tersebut berstatus budak, pent.) untuk menyetubuhinya kecuali bila wanita itu melihat ia telah suci.” Al Imam Al Qurthubi rahimahullah : “Darah haid adalah darah hitam yang kental, mendominasinya warna merah.” (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ halaman 129), Selain wanita, di antara jenis hewan ada juga yang mengalami haid seperti yang dikatakan oleh Al Jahidh dalam Kitab Al Hayawan : “Yang mengalami haid dari kalangan makhluk hidup ada empat yaitu wanita, kelinci, dlaba’ (sejenis anjing hutan), dan kelelawar. Dan haidnya kelinci ini masyhur dalam syair-syair Arab.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ halaman 128)





















BAB III
KESIMPULAN
Sungguh sangat membahagiakan bagi semua umat Islam ketika kesempatan untuk berhaji datang. sebuat peristiwa yang sangat ditunggu-tunggu. bayangkan, untuk dapat menunaikan ibadah haji saat ini calon jamaah harus antri masuk daftar tunggu yang konon sekarang sdah mencapai 6 tahun kedepan.
kita smua tahu bahwa ibadah haji punya karakteristik berbeda dengan ibadah lainnya. dalam ibadah haji tidak hanya menuntut kita mengucapkan doa doa namun ibadah yang satu ini juga menuntut kesiapan fisik yang prima. dan tak jarang kurangnya persiapan fisik ini menyebabkan terganggunya kelancaran dalam penunaian prosesi ibadah haji tersebut. untuk itu perlu dilakukan persiapan jauh-jauh hari sebelum keberangkatan.
Satu hal yang sangat menjadi perhatian para calon jamaah haji khususnya jamaah perempuan adalah masalah Haid atau menstruasi. Masalah haid ini sering kali membuat cemas para calon jamaah haji wanita dikarenakan adanya rukun haji yaitu Thowaf ifadhoh yang mengharuskan jamaah dalam kondisi suci dari hadats maupun najis. Thowaf ifadhoh yang pelaksanaannya dilakukan setelah prosesi Armuna (Arafah-Muzdalifah – Mina) ini biasanya menjadi masalah terutama untuk jamaah yang dijadwalkan pulang awal (kloter-kloter awal) karena waktu pelaksanaannya cuma bisa dilakukan beberapa hari sebelum pulang ke tanah air. Akibatnya banyak calon jamaah yang ketakutan dan akhirnya mengkonsumsi obat secara membabi buta mulai sejak di tanah air. Pemakaian obat penunda haid yang kurang tepat inilah yang pada akhirnya malah menjadi bumerang, alih-alih mendapat manfaat dari penundaan menstruasi tapi malah siklus menstruasinya kacau dan sulit untuk ditanggulangi.
Nah.. berikut in sedikit tips
Pertama, sebelum berkonsultasi dengan dokter kenali siklus menstruasi anda. Berapa hari siklus haid anda, berapa lama menstruasi anda, bagaimanakah keteraturan menstruasi anda, Kontrasepsi apa yang sekarang sedang anda gunakan.
Kedua, setelah memahami siklus menstuasi anda. usahakan anda melakukan konsultasi minimal 3 bulan sebelum keberangkatan ke tanah suci sehingga upaya penundaan ini bisa lebih efektif.
ketiga, hal yang penting untuk diingat adalah mengetahui kapan proses ibadak puncak haji dan kapan keberangkatan kita. penundaan haid ini sebenarnya sebagi upaya memperlancar ibadah haji. dalam hal ini adalah thawaf ifadhoh yang wajib dilaksanakan dalam kondisi suci. Perlu difahami juga mana yang merupakan rangkaian ibadah Sunnah dan mana ibadah yang merupakan Rukun dan wajib. Jangan sampai gara-gara kita terlalu bernafsu mengejar yang sunnah malah ibadah yang wajib jadi kacau. Selain thawaf, kegiatan lain dalam rangkaian ibadah haji boleh dilaksanakan meskipun kita tidak dalam kondisi suci.
Keempat, perlu diketahui yang berkenaan dengan peggunaan kontrasepsi
1. Oral Noethisteron 5 mg (Primolut): eektif dalam menunda haid hanya selama 14 hari. jadi pagi anda jamaah yang mau menunaikan ibadah haji hendaknya sebelum menggunakan kontrasepsi berkonsutasi dengan dokter yang berpengalaman. jika anda mulai minum primolut saat sebelum berangkat sedangkan rangkaian ibadah haji masih lama maka biasanya anda bisa mengalami spoting pada minggu ke 2 setelah mulai mengkonsumsi Primolut
2. Kontrasepsi suntik 3 bulanan: Hanya efektif untuk yang sudah mendapatkan suntikan sebanyak 5 kali (1 tahun 3 bulan dari pertama kali suntik). karena efek Amenore (tidak menstruasi baru bisa didapat setelah 5 kali injeksi. Jika anda termasuk pemakai kontrasepsi KB suntik 3 bulanan dan sudah tidak menglami menstruasi maka anda tinggal meneruskannya. jangan lupa meneruskan suntik KB 3 bulanan sebelum berangkat karena pengalaman penulis pernah meresepkan tapi susah banget nyari di apotik-apotik di Tanah suci. mungkin karena mereka nggak pernah Kb kali ya. hehe
3. Bagi pemakai kontrasepsi Spiral hendaknya dilepas dulu untuk menbegah terjadinya spotting
4. Bisa digunakan kontrasepsi dengan pil KB (21 tablet) yaitu mycrogynon ED 30, Diane, yasmin. caranya dengan mulai minum pil KB ini pada hari ke 5 menstruasi terus menerus selama sebelum berangkat sampai pulang ke tanah air. dengan cara ini jamaah tidak mengalami menstruasi.




PENUTUP
Namun demikian, para ulama melihat hal ini menjadi rukhsah bagi para wanita pada saat pelaksanaan ibadah haji. Penggunaan terapi hormonal diperbolehkan. Bahkan Majelis Ulama Indonesia secara tegas telah mengeluarkan fatwa dengan tanggal 12 Januari 1979 yang menyebutkan, bahwa penggunaan obat anti haid untuk kesempurnaan ibadah haji hukumnya adalah mubah.
Referensi:
1.      Qadhaya Fiqhiyah Mu’ashirah, jld 1. Lajnah Asatidzah Fiqh Muqaran Univ. Al Azhar 2006.
2.      Al Mughni, Ibn Qudamah.
3.      al-Fataw as Syar’iyyah Fil Masailil ‘Ashriyyah Min Fatawa Ulama Baladil Haram.
4.      Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir al Jazairi.
5.      Majalah As Sunnah Edisi 05 Tahun XIII
6.      sukakarya-online.com
dari cara-cara diatas mana yang sesuai hendaknya dikonsultasikan dengan dokter. Beratnya stressor saat pelaksanaan ibadah haji sering kali mempengaruhi fisik dan hormon jamaah, jadi jangan heran kadang meskipun sudah dilakukan upaya penundaan haid masih saja haid datang.
semoga bermanfaat